Kepemimpinan Keluarga dalam Islam Deskriminatif?
Oleh Nurul Hidayati, SS, MBA
(Sekjen AILA Indonesia dan Presidium Badan Musyawarah Islam Wanita Indonesia)
Syaikh Romadhon Buthi dalam bukunya Al Mar’ah bayna Tughyan annizhom al ghorbi wa lataa’if attashri’ arrobbani, menjawab tuduhan feminist yang mengatakan bahwa kepemimpinan yang telah ditetapkan Alloh, mengistimewakan laki-laki di atas perempuan. Tuhan telah bersikap tidak adil terhadap perempuan dan ini merupakan bukti yang nyata atas tidak adanya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam hukum Islam.
Syaikh Buthi menyampaikan hikmah penetapan posisi kepemimpinan kepada laki-laki adalah merupakan bentuk perhatian Alloh SWT yang besar dalam menciptakan keteraturan dalam segala hal. Terlebih lagi, ajaran Islam menuntut untuk memberi perhatian dalam mengatur dan menetapkan tanggungjawab. Hal itu merupakan aksi nyata dari hadirnya seorang pemimpin yang akan dibebankan tanggungjawab mengatur dan mengelola urusan.
Syaikh Buthi menegaskan bahwa konsep kepemimpinan keluarga dalam Islam adalah sebuah kepedulian untuk memelihara dan mengatur, bukan untuk mengontrol dan mendominasi. Bukan juga tanda adanya superiotitas dalam diri pemimpin atau adanya pembedaan keistimewaan di hadapan Alloh SWT. Lebih kepada sebuah indikasi adanya kompetensi dalam diri seseorang terkait beban tanggungjawab yang diembankan kepadanya.
Allah menilai kualitas laki-laki dan perempuan karena ketaqwaan dan amal sholihnya bukan karena jenis kelamin maupun pembagian tugas yang diberikan. Kepemimpinan dalam keluarga tidak terkait dengan pengistimewaan ataupun pemuliaan (tasyrif) , tetapi lebih kepada pembebanan tanggungjawab (taklif).
Syaikh Buthi juga menjelaskan bahwa bertanggung jawab memberi nafkah keluarga, memberikan jaminan keamanan , dan berbagai tugas seorang pemimpin dalam menjaga kehormatan keluarga tidaklah lebih mulia dari tugas mengelola urusan rumahtangga, mengasuh dan mendidik anak dan memberikan nuansa ketenangan dan kenyamanan di dalam rumah. Ini hanyalah terkait masalah pembagian peran yang Alloh tetapkan sesuai dengan kondisi fisik dan mental yang berbeda antara seorang permpuan dan laki-laki.
Upaya penghapusan kepemimpinan laki-laki dalam rumahtangga cepat atau lambat akan mengarah pada pelemahan institusi keluarga dalam bentuk yang biasa kita jumpai . Inilah yang ingin dicapai oleh kaum feminis serta pegiat kesetaraan gender. Secara sadar atau tidak, ini merupakan upaya yang bertujuan merubah tatanan keluarga dan tatanan masyarakat serta menolak peran perempuan sebagai ibu rumah tangga.
Ide pembebasan wanita dari citra sebagai ”ibu”, sudah digagas oleh John Stuart Mill, melalui bukunya, The Subjection of Women (1869). Menurut Mill, pekerjaan perempuan di sektor domestik (rumah tangga) merupakan pekerjaan irasional, emosional, dan tiranis. Karena itu, Mill meminta perempuan menekan dan menghilangkan segala aspek yang ada kaitannya dengan pekerjaan domestik (keluarga) agar ”kebahagiaan” tertinggi dapat dicapai.
Padahal dalam Islam, membentuk sebuah keluarga merupakan bagian dari menjalankan agama. memelihara rumahtangga adalah wujud keimanan, mencegah wabah yang mengancam rumah tangga adalah jihad. Dan menjaga buah dari hasil pernikahan berupa keturunan adalah bagian dari menegakkan syiar-syiar islam.
Sebuah keluarga Muslim yang baik akan menjadi batu bata yang kokoh dalam pembentukan masyarakat muslim yang sejahtera. Hal itu hanya dapat diwujudkan jika kaum muslimin memahami konsep Islam dalam berkeluarga dan mengaplikasikannya secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.